“Analisis Karya Seni
Rupa Murni dan Terapan Daerah Bali dan Lombok”
I
Dewa Gede Kresnadiva Palandara (08/ IXC)
Ni
Putu Ovi Wikayanti (14/ IXC)
Putu
Sinta Darma Putri (20/ IXC)
Ni
Putu Figlia Ayu Salsa Dimita (25/ IXC)
Ni
Putu Rutin Seciolini Agristy (26 / IXC)
Ni
Made Uning Praptika Adi (28/ IXC)
Luh
Gede Ayu Krisna Sari Dewi (30/ IXC)
Atisha
Karunia Mahadewi (31/ IXC)
Putu
Eka Sutama (35/ IXC)
Ni
Made Ayu Diah Widiarti (37/ IXC)
SMP
NEGERI 1 KUTA UTARA
Jalan Raya Kesambi
No.4, Kerobokan, Kuta Utara, Badung
Tahun
ajaran 2014/2015
PENDAHULUAN
Seni
adalah ide, gagasan, persasaan, suara hati, gejolak jiwa, yang diwujudkan atau
di ekspresikan, melalui unsur unsur tertentu, yang bersifat indah untuk
memenuhi kebutuhan manusia walaupun banyak juga karya seni yang digunakan untuk
binatang.
Seni
sendiri dibagi menjadi empat cabang, yaitu seni rupa, seni musik, seni tari,
dan seni teater.
Seni
rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa
ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan
mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan
dengan acuan estetika.
Seni rupa
terdiri dari Seni Rupa Murni dan Seni Rupa Terapan.
Seni
Murni (Fine Art) adalah seni yang dibuat untuk mengekspresikan nilai
budaya dan keindahan. Artinya, seni murni tidak memiliki fungsi lain selain
sebagai hiasan. Biasa disebut dengan Art for Art, dimana proses
penciptaan dan penjabaran sebuah konsep seni hanya berorientasi pada keberadaan
seni itu sendiri.
Tetapi apa yang disebut Seni Murni pada awal penciptaannya bisa saja bergeser menjadi seni terapan ketika sebuah karya seni murni sebagai idiom artistik digunakan sebagai sebuah komponen artistik dalam sebuah tampilan seni terapan.
Tetapi apa yang disebut Seni Murni pada awal penciptaannya bisa saja bergeser menjadi seni terapan ketika sebuah karya seni murni sebagai idiom artistik digunakan sebagai sebuah komponen artistik dalam sebuah tampilan seni terapan.
Contoh:- Lukisan
- Patung
- Graffiti
- Kaligrafi
- Patung
- Graffiti
- Kaligrafi
Seni
Terapan (applied-art) berbeda dengan seni murni. Selain memiliki fungsi
estetis (keindahan) seni terapan juga memiliki fungsi pragmatis, yakni memenuhi
keperluan hidup manusia.
Membuat
karya seni rupa terapan tidak sebebas membuat karya seni rupa murni karena di
dalamnya harus mempertimbangkan persyaratan-persyaratan tertentu, seperti
syarat keamanan (security), kenyamanan (comfortable), dan keluwesan dalam
penggunaan (flexibility).
Karya
seni rupa terapan dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu desain dan
kriya.
Contoh : - Desain grafis
- Desain arsitektur
- Desain pakaian
- Desain produk
- Kriya kayu
- Kriya kulit
- Kriya bambu
- kriya rotan
- kriya logam
- Desain arsitektur
- Desain pakaian
- Desain produk
- Kriya kayu
- Kriya kulit
- Kriya bambu
- kriya rotan
- kriya logam
1.
Analisis Karya Seni Rupa Murni Bali dan Lombok
a) Seni Lukis
(1) Seni Lukis Bali
Seni lukis wayang kamasan adalah salah satu
bentuk karya seni klasik yang berawal pada abad ke-17 dan dianggap penting
dalam kebudayaan Bali. Sementara karya
seni ini tidak dapat dipisahkan dari nilai keagamaan, terutama nilai ritual.
Kamasan sebenarnya adalah nama sebuah desa yang berada di Kabupaten Klungkung, Bali.
Desa ini dikenal sebagai gudangnya seni lukis wayang klasik.
Corak lukisan Bali klasik dalam lukisan kamasan sangat mudah dikenali. Warna dasarnya cokelat muda. Cokelat muda ini diambil dari batu gamping yang dicelup dalam air.
Untuk warna hitam pada setiap garis yang ditorehkan, pada zaman dulu digunakan jelaga. Namun saat ini, pelukis sudah menggunakan tinta lukis modern untuk mendapatkan torehan hitam. Sedangkan warna-warna lain, pelukis menggunakan cat air agar lukisan lebih semarak.
Kamasan sebenarnya adalah nama sebuah desa yang berada di Kabupaten Klungkung, Bali.
Desa ini dikenal sebagai gudangnya seni lukis wayang klasik.
Corak lukisan Bali klasik dalam lukisan kamasan sangat mudah dikenali. Warna dasarnya cokelat muda. Cokelat muda ini diambil dari batu gamping yang dicelup dalam air.
Untuk warna hitam pada setiap garis yang ditorehkan, pada zaman dulu digunakan jelaga. Namun saat ini, pelukis sudah menggunakan tinta lukis modern untuk mendapatkan torehan hitam. Sedangkan warna-warna lain, pelukis menggunakan cat air agar lukisan lebih semarak.
Asal-usul lukisan wayang tradisional gaya Kamasan,
merupakan kelanjutan dari tradisi melukis wong-wongan (manusia dengan alam
sekitar) pada zaman pra-sejarah hingga masuknya agama Hindu di Bali dan
keahlian tersebut mendapatkan kesempatan berkembang dengan baik.
Banyak aspek yang berkaitan dengan keberadaan seni
lukis wayang Kamasan, diantaranya adalah aspek filosofi, spiritual, teknis,
ekonorni, sosial dan budaya. Diantara berbagai aspek tersebut, khususnya aspek
spiritual-kultural merupakan aspek yang menonjol pada lukisan wayang Kamasan.
Melalui pengabdian tersebut maka diwujudkan lukisan kisah-kisah wayang sebagai bentuk keterkaitan dengan ajaran-ajaran agama Hindu Bali.
Pembagian bidang dalam seni lukis wayang Kamasan
juga mengacu pada ajaran Hindu tentang Tri Loka, yaitu bawah, tengah, dan atas.
Semakin tinggi dunia atau ruangnya maka dianggap semakin suci.
Sesungguhnya bakat seni tumbuh pula pada karya-karya seni lainnya yaitu berupa seni ukir emas dan perak dan yang terakhir ialah seni ukir peluru. Meskipun dari segi material yang digunakan kain warna logam mengikuti perubahan yang terjadi tetapi ciri khasnya tetap tampak dalam tema lukisan atau ukiran yaitu menggambarkan tokoh-tokoh wayang, seperti Ramayana, Mahabharata, Sutasoma, Panji, Lelintangan dan lain-lain.
Pada umumnya, cerita-cerita yang digambarkan mengandung nilai filosofis agama Hindhu dan budaya Bali.
Oleh karena itu, lukisan atau ukiran gaya Kamasan atau Wayang Kamasan dapat dikatakan agak tua umurnya dari konteks sejarahnya yang hingga sekarang masih nampak utuh.
Bukti nyata seni lukis Wayang Kamasan ini dapat kita lihat pada lukisan di gedung Kertha Gosa yang dibangun sejak zaman kerajaan Klungkung. Lukisan-lukisan tersebut bercerita tentang perjalanan Bhima ke Swarga Loka, Diah Tantri, Sang Garuda mencari Amerta dan Palelindon. Namun, seiring berkembangnya zaman, lukisan Bali tidak hanya bertemakan cerita wayang, melainkan juga bertema kehidupan masyarakat sehari-hari, dan pemandangan alam.
Sesungguhnya bakat seni tumbuh pula pada karya-karya seni lainnya yaitu berupa seni ukir emas dan perak dan yang terakhir ialah seni ukir peluru. Meskipun dari segi material yang digunakan kain warna logam mengikuti perubahan yang terjadi tetapi ciri khasnya tetap tampak dalam tema lukisan atau ukiran yaitu menggambarkan tokoh-tokoh wayang, seperti Ramayana, Mahabharata, Sutasoma, Panji, Lelintangan dan lain-lain.
Pada umumnya, cerita-cerita yang digambarkan mengandung nilai filosofis agama Hindhu dan budaya Bali.
Oleh karena itu, lukisan atau ukiran gaya Kamasan atau Wayang Kamasan dapat dikatakan agak tua umurnya dari konteks sejarahnya yang hingga sekarang masih nampak utuh.
Bukti nyata seni lukis Wayang Kamasan ini dapat kita lihat pada lukisan di gedung Kertha Gosa yang dibangun sejak zaman kerajaan Klungkung. Lukisan-lukisan tersebut bercerita tentang perjalanan Bhima ke Swarga Loka, Diah Tantri, Sang Garuda mencari Amerta dan Palelindon. Namun, seiring berkembangnya zaman, lukisan Bali tidak hanya bertemakan cerita wayang, melainkan juga bertema kehidupan masyarakat sehari-hari, dan pemandangan alam.
(2) Seni Lukis Lombok


Seni lukis Lombok pada
umumnya bertema kegiatan penduduk sehari-hari dan pemandangan alam. Saat ini,
seni lukis sudah dipadukan dengan berbagai hal, termasuk dengan tirai bambu.
Perbedaan seni lukis
Bali dan Lombok :

Persamaan seni lukis
Bali dan Lombok :

b) Seni Ukir
(1) Seni Ukir Bali

Produk seni ukir khas Bali mempunyai
motif tersendiri yang khas. Berdasarkan penelitian, motif ukiran Bali merupakan
peninggalan jaman kerajaan dahulu kala, yang sudah memperoleh mengalami
kemajuan di bidang seni.
Motif ukiran Bali, dikenali dengan
beberapa ciri khas, yang terbagi antara ciri umum dan khusus. Ciri-ciri
umum: ukiran Bali mempunyai motif daun, bunga dan buah yang berbentuk
cembung dan cekung. Hal ini dapat dikatakan bahwa motif Bali adalah motif
campuran yang mempunyai perpaduan bentuk antara cekung dan cembung.
Adapun ciri khusus ukiran Bali
antara lain : (1) angkup pada motif Bali, seperti halnya pada motif lainnya,
mempunyai bentuk yang berikal pada ujungnya, (2) bentuk sunggar ini tumbuh dari
ujung ikal benangan pada daun pokok, (3) simbar pada motif Bali seperti yang
terdapat pada motif Pajajaran dan motif Majapahit, dengan bentuk yang khas
pula. Simbar berada di depan pangkal daun pokok mengikuti bentuk alurnya,
sehingga dapat membentuk keserasian secara keseluruhan pada motif ini, (4)
benangan pada motif ini bentuknya khusus atau khas. Benangannya berbentuk
cembung dan miring sebagian. Benangan ini tumbuh melingkar sampai pada ujung
ikal dan (5) mempunyai pecahan garis yang menjalar pada daun pokok dan pecahan
cawen yang terdapat pada ukiran daun patran, sehingga dapat menambah keserasian
dan indahnya bentuk ukiran. Seni ukir Bali umumnya bertema cerita wayang, kehidupan
sehari-hari, bahkan sekarang mendapatkan pengaruh dari Barat, namun tetap
memperhatikan tradisi yang berlaku di Bali.
(2) Seni Ukir Lombok
Seni ukir Lombok
umumnya bertema tema flora dan fauna yang terkadang dipadukan dengan
motif-motif geometris.


Perbedaan seni ukir
Bali dan Lombok :
¨ Ukiran
Bali bertema cerita pewayangan, kehidupan sehari-hari, bahkan sekarang
mendapatkan pengaruh dari Barat, namun tetap memperhatikan tradisi yang berlaku
di Bali. Sedangkan ukiran Lombok mempunyai tema flora dan fauna yang terkadang
dipadukan dengan motif-motif geometris.
Persamaan seni ukir
Bali dan Lombok :
¨ Seni
ukir tidak hanya dibuat di kayu, tetapi juga di atas batu dan logam.
2.
Analisis Karya Seni Rupa Terapan Bali dan Lombok
a) Senjata Tradisional
(1) Keris
Keris
adalah sejenis pedang pendek yang berasal dari pulau Jawa, Indonesia.Keris
purba telah digunakan antara abad ke-9 dan 14. Selain digunakan sebagai
senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Keris
terbagi menjadi tiga bagian yaitu mata, hulu, dan sarung. Beberapa jenis keris
memiliki mata pedang yang berkelok-kelok. Senjata ini sering disebut-sebut
dalam berbagai legenda tradisional, seperti keris Mpu Gandring dalam legenda
Ken Arok dan Ken Dedes.
Keris
sendiri sebenarnya adalah senjata khas yang digunakan oleh daerah-daerah yang
memiliki rumpun Melayu atau bangsa Melayu. Pada saat ini, keberadaan Keris
sangat umum dikenal di daerah Indonesia terutama di daerah pulau Jawa dan
Sumatra, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina khususnya di daerah Filipina Selatan
(Pulau Mindanao). Namun, bila dibandingkan dengan Indonesia dan Malaysia,
keberadaan keris dan pembuatnya di Filipina telah menjadi hal yang sangat
langka dan bahkan hampir punah.
Tata
cara penggunaan keris juga berbeda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan
Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang. Sementara di
Sumatra, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan. Sebenarnya
keris sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang bermata berkelok kelok
(7, 9 bahkan 13), ada pula yang bermata lurus seperti di daerah Sumatera.
Selain itu masih ada lagi keris yang memliki kelok tunggal seperti halnya
rencong di Aceh atau Badik di Sulawesi.
Bagian-bagian keris
Sebagian
ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian
utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah
seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu
wrangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap
seluruh kelengkapannya disebut keris.
* Pegangan keris
Pegangan
keris ini bermacam-macam motifnya , untuk keris Bali ada yang bentuknya
menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari ,
pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia
.Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang
terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan
burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung
yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai
pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang,
Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan
perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari
aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.
Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking
(kepala bagian belakang) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan), weteng,
dan bungkul.
* Wrangka atau Rangka
Wrangka,
rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang mempunyai
fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena
bagian wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh umum . Wrangka yang
mula-mula (sebagian besar) dibuat dari bahan kayu (jati , cendana, timoho ,
kemuning, dll), kemudian sesuai dengan perkembangan zaman maka terjadi
perubahan fungsi wrangka (sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya).
Kemudian bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.
Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis wrangka ladrang yang
terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk
seperti daun), gandar, ri, serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis
wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka
ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong dan gandek. Aturan pemakaian
bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang
dipakai untuk upacara resmi, misalkan menghadap raja, acara resmi keraton
lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan
maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar
keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai
pertimbangan untuk keselamatan raja).
* Wilah
Wilah
atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian
bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut
dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur).
Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yang merupakan ujung bawah sebilah keris
atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran) . Pesi
ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10
mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil.
Pada
pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk
daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi
(bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak
terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu
melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni
sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak,
bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled ,
bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja
ada bermacammacam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.
Luk,
adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya
keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya
berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah ,
dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan
dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan
terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (
ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan
terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih
dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija atau keris tidak lazim .
(2) Tulup
Tulup adalah senjata tradisional Suku Sasak yang biasa
digunakan untuk berburu. Senjata ini terbuat dari kayu meranti yang dilubangi,
berpeluru potongan-potongan seperti lidi dari pelepah pohon enau yang
berbentuk seperti mata panah yang disebut ancar. Mata ancar biasanya diolesi
racun dari getah pohon tatar agar bisa melumpuhkan hewan buruan.
Nilai-nilai yang terdapat dalam tulup antara lain :
·
Nilai
kedekatan dan penghargaan terhadap alam. Penggunaan tulup yang sebagian besar
berbahan baku dari alam secara tidak langsung merupakan penghormatan orang
Sasak terhadap alam itu sendiri.
·
Nilai
kerajinan dan mengasah keterampilan. Pembuatan tulup beserta komponennya
memerlukan keterampilan yang tinggi.
·
Nilai
kesabaran dan menata hati. Dalam mengoperasikan tulup tidak hanya memerlukan
keterampilan, namun kesabaran dan ketenangan hati.
·
Nilai
sakralitas. Nilai ini tampak pada pemberian doa atau jampi-jampi yang dibacakan
pemburu agar mendapatkan banyak hewan buruan.
·
Nilai
tradisi budaya. Tulup merupakan peninggalan nenek moyang Sasak yang dahulu
mempunyai kebudayaan berburu.
Perbedaan
antara keris dengan tulup :


Persamaan
keris dengan tulup :



b) Rumah Adat
(1) Rumah Adat Bali
Rumah Bali harus sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali ajaran terdapat pada kitab suci Weda yang mengatur soal tata letak sebuah bangunan, hampir mirip seperti ilmu Feng Shui dalam ajaran Budaya China.
Ada tiga aspek yang harus di terapkan di dalamnya, aspek pawongan (manusia / penghuni rumah), pelemahan ( lokasi /lingkungan) dan yang terahir parahyangan. Kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara ke 3 aspek tadi. Untuk itu pembangunan sebuah rumah Bali harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional Bali selalu dipenuhi pernik yang berfungsi untuk hiasan, seperti ukiran dengan warna-warna yang kontras alami. Selain sebagai hiasan mereka juga mengandung arti dan makna tertentu sebagai ungkapan terimakasih kepada sang pencipta, serta simbol-simbol ritual seperti patung.
Umumnya Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah manjadi banyak bangunan-bangunan kecil-kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan bangunan tidak lagi terpisah-pisah.

Rumah Bali harus sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali ajaran terdapat pada kitab suci Weda yang mengatur soal tata letak sebuah bangunan, hampir mirip seperti ilmu Feng Shui dalam ajaran Budaya China.
Ada tiga aspek yang harus di terapkan di dalamnya, aspek pawongan (manusia / penghuni rumah), pelemahan ( lokasi /lingkungan) dan yang terahir parahyangan. Kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara ke 3 aspek tadi. Untuk itu pembangunan sebuah rumah Bali harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional Bali selalu dipenuhi pernik yang berfungsi untuk hiasan, seperti ukiran dengan warna-warna yang kontras alami. Selain sebagai hiasan mereka juga mengandung arti dan makna tertentu sebagai ungkapan terimakasih kepada sang pencipta, serta simbol-simbol ritual seperti patung.
Umumnya Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah manjadi banyak bangunan-bangunan kecil-kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan bangunan tidak lagi terpisah-pisah.

Bangunan Hunian
Hunian pada masyarakat Bali ditata sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Angkul-angkul ini bentuk mirip seperti pagar utama di bangunan modern, sebagai pintu masuk penghubung antara luar dengan area dalam bangunan. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan – bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka (tanpa tembok, dengan bangunan dasar berbentul Bale yang sering kita jumpai pada umumnya).
Ditengah-tengah hunian bangunan tradisional Bali, terdapat natah (court garden/halaman) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.
(2) Rumah Adat Suku Sasak
Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek).
Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu
jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras,
sekeras semen. Pengetahuan membuat lantai dengan cara tersebut diwarisi dari
nenek moyang mereka.Hunian pada masyarakat Bali ditata sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Angkul-angkul ini bentuk mirip seperti pagar utama di bangunan modern, sebagai pintu masuk penghubung antara luar dengan area dalam bangunan. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan – bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka (tanpa tembok, dengan bangunan dasar berbentul Bale yang sering kita jumpai pada umumnya).
Ditengah-tengah hunian bangunan tradisional Bali, terdapat natah (court garden/halaman) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.
(2) Rumah Adat Suku Sasak
Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat Sasak didapatkan dari lingkungan atau alam sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan (duniawi) secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk), epen bale (penunggu rumah), dan sebaginya.
Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.
Waktu Pembangunan Rumah
Orang Sasak di Lombok meyakini bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun rumah adalah pada bulan ketiga dan bulan kedua belas penanggalan Sasak, yaitu bulan Rabiul Awal dan bulan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada juga yang menentukan hari baik berdasarkan nama orang yang akan membangun rumah. Sedangkan bulan yang paling dihindari (pantangan) untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan bulan Ramadlan. Pada kedua bulan ini, menurut kepercayaan masyarakat setempat, rumah yang dibangun cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rizqi, dan sebagainya.
Pemilihan Tempat
Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan membangun tumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).
Bangunan Rumah Adat Suku Sasak
Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu (bedek), hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk) meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda, getah, dan abu jerami. Undak-undak (tangga),digunakan sebagai penghubung antara bale luar dan bale dalem.
Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan suku Sasak terdiri dari:
Bale Tani
Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai petani. Bale Tani berlantaikan tanah dan terdiri dari beberapa ruangan, yaitu: satu ruang untuk serambi (sesangkok) dan satu ruang untuk kamar (dalem bale). Walaupun dalem bale merupakan ruangan untuk tempat tidur, tetapi kamar tersebut tidak digunakan sebagai tempat tidur. Dalem bale digunakan sebagai tempat menyimpan barang (harta benda) yang dimilikinya atau tempat tidur anak perempuannya, sedangkan anggota keluarga yang lain tidur di serambi. Untuk keperluan memasak (dapur), keluarga Sasak membuat tempat khusus yang disebut pawon.
Fondasi bale tani terbuat dari tanah, Design atapnya dengan sistem jurai yang terbuat dari alang-alang di mana ujung atap bagian serambi (sesangkok) sangat rendah, tingginya sekitar kening orang dewasa. Dinding rumah bale tani pada bagian dalem bale terbuat dari bedek, sedangkan pada sesangkok tidak menggunakan dinding. Posisi dalem bale lebih tinggi dari pada sesangkok oleh karena itu untuk masuk dalem bale dibuatkan tangga (undak-undak) yang biasanya dibuat tiga trap dengan pintu yang dinamakan lawang kuri.
Bale Jajar
Bale jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengah ke atas. Bentuk bale jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem balenya. Bale jajar mempunyai dua kamar (dalem bale) dan satu serambi (sesangkok), kedua kamar tersebut dipisah oleh lorong/koridor dari sesangkok menuju dapur di bagian belakang. Ukuran kedua dalem bale tersebut tidak sama, posisi tangga/pintu koridornya terletak pada sepertiga dari panjang bangunan bale jajar.
Bahan yang dibutuhkan untuk membuat bale jajar adalah tiang kayu, dinding bedek dan alang-alang untuk membuat atap. Penggunaan alang-alang, saat ini, sudah mulai diganti dengan menggunakan genteng tetapi dengan tidak merubah tata ruang dan ornamennya. Bangunan bale jajar biasanya berada dikomplek pemukiman yang luas dan ditandai oleh keberadaan sambi yang menjulang tinggi sebagai tempat penyimpanan kebutuhan rumah tangga atau keluarga lainnya. Bagian depan bale jajar ini bertengger sebuah bangunan kecil (disebut berugaq atau sekepat) dan pada bagian belakangnya terdapat sebuah bangunan yang dinamakan sekenam, bangunan seperti berugaq dengan tiang berjumlah enam.
Berugaq / Sekepat
rumah adat sasakBerugaq/sekepat mempunyai bentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) tanpa dinding, penyangganya terbuat dari kayu, bambu dan alang-alang sebagai atapnya. Berugaq atau sekepat biasanya terdapat di depan samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani. Berugaq/sekepat ini didirikan setelah dibuatkan pondasi terlebih dahulu kemudian didirikan tiangnya. Di antara keempat tiang tersebut, dibuat lantai dari papan kayu atau bilah bambu yang dianyam dengan tali pintal (Peppit) dengan ketinggian 40–50 cm di atas permukaan tanah.
Fungsi dan kegunaan berugaq/sekepat adalah sebagai tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Berugaq/sekepat juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang midang (melamar).
Sekenam
Sekenam bentuknya sama dengan berugaq/sekepat, hanya saja sekenam mempunyai mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian belakang rumah. Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.
Bale Bonter
Bale bonter merupakan bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki oleh para perkanggo/Pejabat Desa, Dusun/kampong. Bale bonter biasanya dibangun di tengah-tengah pemukiman dan atau di pusat pemerintahan Desa/kampung. Bale bonter dipergunakan sebagai temopat pesangkepan/persidangan adat, seperti: tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat, dan sebagainya.
Bale bonter juga disebut gedeng pengukuhan dan tempat menyimpanan benda-benda bersejarah atau pusaka warisan keluarga. Bale bonter berbentuk segi empat bujur sangkar, memiliki tiang paling sedikit 9 buah dan paling banyak 18 buah. Bangunan ini dikelilingi dinding bedek sehingga jika masuk ke dalamnya seperti aula, atapnya tidak memakai nock/sun, hanya pada puncak atapnya menggunakan tutup berbentuk kopyah berwarna hitam.
Bale Beleq Bencingah
Bale beleq adalah salah satu sarana penting bagi sebuah Kerajaan. Bale beleq diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar Kerajaan sehingga sering juga disebut “Bencingah.” Adapun upacara kerajaan yang biasa dilakukan di bale beleq diantaranya adalah:
* Pelantikan pejabat kerajaan
* Penobatan Putra Mahkota Kerajaan
* Pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (Pendita) Kerajaan
* Sebagai tempat penyimpanan benda-benda Pusaka Kerajaan seperti persenjataan dan benda pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen-dokumen Kerajaan
* Dan sebagainya.
Bale Tajuk
Bale tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang memiliki keluarga besar. Bale tajuk berbentuk segi lima dengan tiang berjumlah lima buah dan biasanya berada di tengah lingkungan keluarga Santana. Tempat ini dipergunakan sebagai tempat pertemuan keluarga besar dan pelatihan macapat takepan, untuk menambah wawasan dan tata krama.
Bale Gunung Rate dan Bale Balaq
Selain jenis bangunan yang telah disebut di atas, adapula jenis bangunan lain yang dibangun berdasarkan kondisi-kondisi khusus, seperti bale gunung rate dan bale balaq. Bale gunung rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan, sedangkan bale balaq dibangun dengan tujuan untuk menghindari bencana banjir, oleh karena itu biasanya berbentuk rumah panggung.
Bangunan Pendukung terdiri dari:
Sambi
Sambi merupakan tempat menyimpan hasil pertanian masyarakat. Ada beberapa macam bentuk sambi, antara lain sambi sejenis lumbung berbentuk rumah panggung. Bagian atas sambi ini dipergunakan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian, sedangkan bagian bawahnya dipergunakan sebagai tempat tidur atau tempat menerima tamu. Ada juga sambi yang atapnya diperlebar sehingga pada bagian bawahnya dapat digunakan sebagai tempat menumbuk padi (lilih) dan juga tempat duduk-duduk, berupa bale-bale yang alas duduknya dibuat dari bilah bambu dan papan kayu.
Pada umumnya, sambi mempunyai empat, enam atau delapan tiang kayu. Sambi dengan enam tiang seringkali disebut ayung, karena pada bagian atasnya sering digunakan untuk tempat tidur. Bangunan sambi yang bertiang delapan terkadang disebut sambi jajar karena berbentuk memanjang. Semua sambi selalu dilengkapi dengan tangga untuk naik dan didalamnya juga memiliki tangga untuk turun ke dalam.
Alang
Alang sama dengan lumbung, berfungsi untuk menyimpan hasil pertanian. Hanya saja alang mempunyai bentuk yang khas, yaitu beratapkan alang-alang dengan lengkungan kira-kira ¾ lingkaran namun lonjong dan ujungnya tajam ke atas. Konstruksi bawahnya menggunakan empat tiang yang ujung tiang bagian atasnya dipadu dengan jelepeng (diikat menjadi satu). Bagian bawah bangunan alang biasanya digunakan sebagai tempat beristirahat baik siang atau malam hari. Alang biasanya diletakkan di halaman belakang rumah atau dekat dengan kandang hewan.
Lumbung
Lumbung adalah tempat untuk menyimpan segala kebutuhan. Lumbung tidak sama dengan sambi dan alang, karena lumbung biasanya diletakkan di dalam rumah/kamar atau di tempat khusus diluar bangunan rumah. Lumbung berbentuk bulat, dibuat dari gulungan bedek kulitan dengan diameter 1,5 meter untuk lumbung yang ditempatkan di dalam rumah dan berdiameter 3 meter jika diletakkan di luar rumah.
Bahan untuk membuat lumbung adalah bambu, bedek, dan papan kayu sebagai lantai. Di bawah papan lantainya dibuatkan pondasi dari tanah dan batu pada empat sudutnya. Atapnya disangga dengan tiang kayu atau bambu berbentuk seperti atap rumah tinggal.
Nilai-Nilai dan filosofi yang tersirat pada bangunan rumah adat Sasak
Rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang individu atau kelompok dalam mengejewantahkan hubungan dengan sesama manusia (komunitas atau masyarakat), alam, dan dengan Tuhan (lingkup keyakinan). Keberadaan rumah Sasak, baik bentuk, tata ruang serta struktur bangunan rumahnya mengandung simbol-simbol yang sarat dengan nilai-nilai filsafat tinggi dan sakral. Di antara nilai-nilai tersebut diantaranya:
* Atap rumah dengan design sangat rendah dengan pintu berukuran kecil bertujuan agar tamu yang datang harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Sikap merunduk merupakan sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara tamu dengan tuan rumah.
* Pembangunan rumah dengan arah dan ukuran yang sama menunjukkan bahwa masyarakat hidup harmonis. Oleh karena itu, jika ada yang membangun rumah yang arahnya tidak sama dengan bangunan rumah yang sudah ada, maka itu menandakan bahwa penghuni kampung tersebut tidak harmonis.
* Undak-undakan (tangga) tingkat tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketaqwaan ilmu pengetahuan dan kekayaan tiap-tiap manusia tidak akan sama. Oleh karena itu, diharapkan semua manusia senantiasa menyadari bahwa kekurangan dan kelebihan yang dimiliki merupakan rahmat Tuhan. Ada juga yang menganggap bahwa anak tangga sebanyak tiga buah menunjukkan simbol daur hidup manusia, yaitu lahir, berkembang, dan mati, atau simbol keluarga batih (ayah, ibu, dan anak).
* Empat tiang penyangga berugaq/sekepat mempunyai pengertian: Kebenaran yang harus diutamakan, kepercayaan diri dalam memegang amanah, dalam menyampaikan sesuatu hendaknya berlaku jujur dan polos, dan sebagai orang yang beriman hendaknya pandai/cerdas dalam menyikapi masalah (tanggap). Sedangkan atapnya menggambarkan keyakian bahwa Tuhan Maha tahu atas segalanya, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Ada juga yang beranggapan bahwa pesan dari berugak bertiang empat adalah simbol syariat Islam: Quran, Hadis, Ijma‘, Qiyas. Disamping itu, berugak yang ada di depan rumah merupakan bentuk rasa syukur terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, dan juga sebagai tempat berinteraksi dengan masyarakat lainnya.
* Bale tajuk, pada umumnya, berbentuk segi lima dengan tiang berjumlah lima melambangkan bahwa masyarakat Sasak adalah masyarakat yang religius yang menurut keyakinan mereka, setiap mahluk hidup pasti akan mati dan setiap sesuatu yang lahir maka pasti akan berakhir.
* Keberadaan lumbung menunjukkan bahwa warga sasak harus hidup hemat dan tidak boros. Bahan-bahan yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan sebagai persiapan untuk keperluan mendadak, misalnya karena gagal panen atau karena ada salah satu anggota keluarga meninggal.
Perbedaan rumah adat Bali dan rumah
adat Sasak :



Persamaan rumah adat Bali dan rumah
adat Sasak :




Tidak ada komentar:
Posting Komentar